Menakar Kemanusiaan di Museum Apartheid

Kesempatan meliput Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan adalah mimpi saya yang menjadi kenyataan. Menjadi jurnalis olahraga yang berkesempatan meliput Piala Dunia merupakan catatan sejarah tersendiri.

Tetapi, bukan hanya meliput ajang sepakbola sejagat itu yang ingin saya alami. Saya ingin singgahi juga Museum Apartheid di Johannesburg. Sebuah museum yang lengkap memaparkan masa kelam Afrika Selatan.

Sejak kecil saya diajari untuk menolak diskriminasi suku, agama, dan ras. Ajaran itu yang di kemudian hari membawa saya berempati pada korban penindasan rasial di Afrika Selatan. Bahkan, pemain idola pertama saya adalah John Barnes. Dia memang tidak berasal dari Afrika Selatan tetapi  legenda Liverpool itu berkulit hitam.

[caption id="attachment_1164" align="aligncenter" width="709"] suasana dalam Museum Apartheid, foto: hipafrica[/caption]

Museum Apartheid dibuka tahun 2001 dan kemudian diakui sebagai salah satu museum unggulan di dunia pada abad kedua puluh yang berada di jantungnya kisah kekejian politik apartheid.

Kisah berdirinya museum ini unik. Pada tahun 1995 pemerintah Afrika Selatan sedang merumuskan ijin untuk pembukaan kasino. Salah satu syarat yang diminta bagi mereka yang ingin mendapatkan ijin adalah harus memaparkan bagaimana mereka bisa mengangkat turisme yang dapat meningkatkan perekonomian serta penciptaan lapangan kerja.

Singkat cerita, sebuah konsorsium bernama Gold Reef City yang mendapatkan lisensi karena komitmen mereka untuk membangun sebuah museum.

Biaya pembangunan museum yang kemudian bernama Museum Apartheid itu sekitar 80 juta rand yang pengelolaannya diserahkan kepada perusahaan bernama Section 21. Perusahaan pengelola terpisah dari Gold Reef City yang memberikan hak pengelolaan kepada Section 21 sepanjang berlakunya lisensi kasino.

Museum Apartheid bergantung pada donasi, kontribusi, dan sponsor untuk membiayai operasional dan pemeliharaan. Dengan itu semua maka pengunjung dan mereka yang tertarik pada sejarah akan dapat menyaksikan berbagai ilustrasi tentang bangkit dan runtuhnya sistem apartheid.

[caption id="attachment_1166" align="aligncenter" width="702"] salah satu sudut di Museum Apartheid, foto: Ian Cochrane[/caption]

Museum Apartheid direncanakan dengan matang. Sebuah konsorsium arsitektur yang terdiri dari sejumlah firma arsitektur berada di balik konsep disain bangunan yang bediri di atas tanah seluas tujuh hektar. Ketika berada di sana, saya merasakan sebuah museum dengan disain yang tidak sekadar menakjubkan tetapi juga memberikan South African experience kepada komunitas internasional.

Penataan eksebisinya pun enak untuk dinikmati. Saya bisa menikmati kisah sejarah dalam dukungan berbagai karya seni multimedia. Tak heran, sebab di belakang ini semua ada sebuah tim yang melibatkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti para kurator, pekerja film, sejarawan, dan disainer. Mereka inilah yang mempersiapkan suguhan film yang provokatif, berbagai foto dramatis, panel-panel teks, serta berbagai artefak yang dapat menggambarkan kejadian dan berbagai kisah manusia yang menjadi bagian dalam sejarah kelam Afrika Selatan.

Sejumlah eksebisi permanen tak boleh dilewatkan. Pertama tentu saja 7 pilar yang disebut sebagai The Pillars of the Constitution. Pilar-pilar ini melambangkan landasan konstitusi baru Afrika Selatan pasca apartheid. Ketujuh pilar tersebut akan menyambut kedatangan para pengunjung yang dengan jelas akan bisa membaca pilar-pilar bertuliskan: democracy, equality, reconciliation, diversity, responsibility, respect, dan freedom.

[caption id="attachment_1167" align="aligncenter" width="710"] The Pillars of the Constitution, foto: Apartheid Museum[/caption]

Begitu akan memasuki museum kita akan dihadapkan pada Race Classification. Klasifikasi rasial adalah fondasi bagi sistem apartheid. Untuk lebih memahami realitas di masa apartheid, maka kita diharuskan memilih antara white atau non-white. Jujur, saya berdebar-debar mengambil pilihan. Baru kali ini ada museum yang dramatis sejak langkah pertama masuk.

Lalu kita pun akan larut dalam sejarah Afrika Selatan sejak ditemukannya tambang emas di Johannesburg tahun 1886 hingga terjadinya politik segregasi berdasarkan ras. Segregasi itulah yang menjadi landasan berlangsungnya sistem apartheid yang kemudian melahirkan kekerasan demi kekerasan terhadap warga kulit hitam.

Sisi kemanusiaan kita pun terusik. Emosi dan kebencian atas penindasan rasial meletup-letup. Kemudian perasaan solidaritas muncul saat memasuki area eksebisi yang berkisah tentang kebangkitan perlawanan terhadap apartheid hingga terciptanya rekonsiliasi yang salah satunya dipelopori oleh tokoh nasional Afrika Selatan Nelson Mandela.

Saya membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mengamati setiap hal yang ada. Perjalanan di dalam museum ini benar-benar menguras emosi. Saya seperti berada di tengah-tengah jeritan dan tangis kepanikan mereka yang berhamburan agar tak tertembak saat demonstrasi damai dibubarkan passa oleh apparat bersenjata, seperti berada di antara desing peluru yang tertuju pada para warga kulit hitam yang berjuang untuk menumbangkan tirani.

[caption id="attachment_1165" align="aligncenter" width="980"] salah satu sudut di Museum Apartheid, foto: cnn[/caption]

Jika saja tak ada kewajiban untuk meliput berita lain, bukan tidak mungkin saya akan berada lebih lama di sana. Museum Apartheid buka setiap hari sejak pukul 9 pagi sampai 5 sore dan hanya ditutup saat perayaan Jumat Agung, Natal, dan Tahun Baru.

Saya menarikhembuskan nafas di sebuah taman di belakang museum. Angin bertiup lembut dan sejuk. Lalu dalam hati saya akan merekomendasikan museum ini bagi mereka yang ingin memahami dan merasakan seperti apa sistem apartheid itu berjalan dan menindas Afrika Selatan. Kita harus belajar bahwa rasialisme itu menyakitkan!

Johanes Indra | traveltoday 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Mencicipi Sajian Khas Kue Pia Nias

Rasakan Sensasi Masakan Pa’piong Toraja

Keindahan Masjid Cheng Hoo Surabaya